Manusia berkemampuan khusus atau yang lebih dikenal dengan sebutan manusia indigo terlahir dengan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya. Manusia indigo selain mempunyai bakat kecerdasan spriritual, juga berkemampuan memahami antara dunia kasat dan dunia metafisika. Oleh karena itu manusia indigo dalam kemampuan spiritualnya cenderung dapat mengakses informasi dunia metafisika. Kemampuan khusus inilah yang membuat manusia indigo menjadi sangat istimewa dan menarik perhatian banyak orang.
Definisi manusia indigo adalah manusia yang menunjukkan seperangkat atribut psikologi baru dan luar biasa, serta menghadirkan sebuah pola perilaku yang khas dan unik. Pada umumnya sangat cerdas dan kreatif, dalam hal emosional cenderung bersifat susah diatur, dan sangat sensitif namun juga perhatian khususnya terhadap orang lain. Konsep anak indigo pertama kali dikemukakan oleh cenayan Nancy Ann Tappe pada tahun 1970-an. Dijelaskan oleh Tappe bahwa anak indigo atau anak nilai memiliki kemampuan atau sifat yang spesial, tidak biasa, dan bahkan supranatural. Di dalam penglihatan secara fisik manusia indigo tidak ada perbedaan dengan manusia pada umumnya, hanya saja memiliki kemampuan intuisi yang mengagumkan dengan IQ yang berada pada tingkat di atas rata-rata. Kemampuan intuisi dari manusia indigo dapat menebak tanpa adanya proses rasionalisasi dan bahkan proses intelektualitas. Kecerdasan spiritual inilah membawa manusia indigo ke dalam pemaknaan yang dalam terhadap berbagai objek metafisika dengan didukung oleh kemampuan indera keenamnya yang dimiliki.
Manusia indigo pada umumnya bersikap spontan, sangat tertarik terhadap fantasi, suka berimajinasi dan selalu berusaha untuk beradaptasi terhadap dunia metafisikanya. Kecenderungan yang dinilai positif oleh para pakar anak indigo, bahwa mereka tidak tertarik pada pengungkapan emosi dalam bentuk ucapan, namun lebih tertarik menyalurkan ekspresinya ke dalam ide-ide kreatif sesuai dengan keterampilannya. Warna kesukaannya adalah merah dan biru, dunianya selalu dikelilingi oleh kedua warna itu. Kemudian dia juga dapat mengartikulasikan ide-idenya dengan sangat jelas yang merupakan hasil dari pengalaman hidupnya, terakumulasi menjadi satu dalam jiwanya dan berpotensi menjadi ekspresi seni.
Edo Adityo pelukis berusia 31 tahun lahir dan tinggal di kota Madiun Jawa Timur, memiliki sifat sebagai manusia indigo dengan banyak keistimewaan. Salah satu keistimewaan khusus yang dimiliki Edo dibuktikan dengan menunjukkan kemampuannya melihat penampakan yang tidak dapat kami lihat. Di suatu malam, saat berbincang bersama saya dan kurator pelukis Heri Kris, tiba-tiba Edo tersenyum dan berucap bahwa di belakang tempat kami duduk, berdiri sosok anak perempuan yang rusak dibagian wajahnya, ucapan spontan ini membuat kami berdua terdiam dan terkejut.
Edo memulai kariernya di bidang seni lukis pada usia 25 tahun, dan dorongan melukis muncul begitu saja secara tiba-tiba. Menurut penuturan Edo bakat melukisnya lahir dari karunia-Nya, bukan dari pendidikan sekolah atau perguruan tinggi seni. Edo menyadari bahwa bakat melukis yang dimiliki juga dipengaruhi oleh kemampuan khusunya yaitu sifat indigonya. Melukis bagi Edo adalah bagian terpenting dalam perjalanan kariernya dan dapat menjadi media ekspresi dari pengalaman hidupnya sebagai manusia indigo.
Seperti yang diceritakan oleh Edo tentang proses kreatifnya di dalam melukis ternyata tidak jauh berbeda dengan pelukis pada umumnya. Yang khas dari Edo adalah inspirasi dan idenya diperoleh ketika melihat sesuatu penampakan dari dunia metafisika. Penampakan itu seringkali membuat jiwa Edo menjadi gelisah ketika muncul berulang kali, seperti menggoda, mengusik hati dan pikirannya. Peristiwa yang demikian ini membenamkan dirinya ke dalam alam bawah sadarnya dan selanjutnya dihayatinya sebagai sebuah kejadian spiritual. Intuisi Edo meyakini bahwa kejadian ini “nyata” dan dapat memicu kreatifitasnya dalam berkarya seni.
Benedetto Croce ahli estetika, menjelaskan tentang seni sebagai ungkapan pemahaman intuitif. Karya seni jangan semata-mata dinilai dari kemampuan tekniknya, akan tetapi justru pada daya imajinasinya. Pemahaman intuitif menjadi ciri seni yang menentukan karena termasuk di dalamnya terdapat penghayatan dan imajinasi murni. Selanjutnya Croce menjelaskan tentang kualitas pelukis dengan karya seninya, dianggap berhasil karena dapat menangkap apa yang hanya dirasa dan secara intuitif dipahami.
Karya seni lukis Edo dapat digolongkan ke dalam gaya seni lukis ekspresionis. Citra jiwa yang terungkap melalui beragam warna dan keliaran goresan kuasnya menghadirkan visualisasi gaya seni lukis ekspresionis. Inspirasi dan ide-ide lukisan Edo merupakan pengejawantahan dari dunia metafisika yang secara intuitif diyakini ada serta selalu hadir menampakkan wujudnya dikehidupannya sehari-hari. Edo dengan sangat setia melayani kebutuhan pengungkapan kehidupan batin atau jiwanya, seperti suasana hati, perasaan dan hasrat dengan tingkat subjektifitas yang tinggi terhadap kebenaran yang harus diungkapkan ke dalam karya seninya. Kebenaran yang dihadirkan dalam karya seni lukisnya bukan sekedar ungkapan tentang fakta-fakta, akan tetapi lebih ke nilai-nilai dari kualitas intuisi serta penjiwaannya terhadap sifat indigonya. Deretan bentuk atau objek pada canvasnya merupakan perlambang untuk menghidupkan imajinasinya yang harus ditafsirkan sebagai hasil kontemplasi dari aktifitas kreatif. Seperti yang dapat kita lihat pada lukisan yang berjudul Pertarungan Malaikat dan Iblis, adalah salah satu karya Edo hasil interpretasinya dari dunia metafisika yang dilihat dan dihayati. Dua figur yang menjadi object sekaligus juga subject matter karyanya, merupakan representasi dari proses kreatifnya dan kecerdasan spiritualnya.
Lukisan Edo yang berjudul Pertarungan Malaikat dan Iblis tidak naturalis dan tidak menggambarkan ruang perspektif, karena lebih mementingkan segi ekspresi dan imaji liarnya. Di dalam bahasarupa ada istilah Imaji dan tataungkap. Imaji mencakup tentang makna dari objek yang digambarkan, sedangkan tataungkap adalah cara menggambarkan objeknya. Objek-objek yang dihadirkan oleh Edo di dalam canvasnya adalah gambaran imajinasinya tentang pertarungan antara figur Malaikat dan figur Iblis yang bermakna sangat dalam, yaitu pertarungan antara sifat yang baik dan sifat yang buruk. Kemudian pada aspek tataungkap, terlihat dari cara Edo di dalam menyusun citra bentuk dari objek utamanya, yaitu meletakkan kedua objeknya berdampingan dan saling mendesak. Dalam penglihatan kasat mata kedua objek dalam lukisan tersebut menggambarkan satu rangkaian adegan tentang pertarungan yang dahsyat, dinamis dan ekspresif.
Citra dua figur yaitu Malaikat dan Iblis oleh Edo disimbolkan berbeda bentuk serta warna. Malaikat dengan wajah putih sedangkan Iblis wajahnya berwarna merah dengan rambut yang panjang terurai ke atas. Penafsiran dari wajah Malaikat yang putih dengan sorot mata hitam kecil dan tajam, melambangkan kesucian. Kemudian wajah iblis digambarkan dengan warna merah serta bola matanya hitam besar melambangkan sifatnya yang pemarah dan jahat. Pertarungan dari kedua figure tersebut dilukiskan dengan emosi yang meledak-ledak, sapuan kuasnya liar dinamis bertaburan beragam warna yang didominasi oleh warna biru dan merah membuat lukisan tersebut semakin mencekam. Mengamati lukisan Pertarungan Malaikat dan Iblis, berpotensi membawa kita masuk ke dalam dunia misteri, horor dan situasi yang menyeramkan.
Mengapresiasi lukisan-lukisan Edo akan membawa kita kepada dunia misteri dengan suasana hati yang meledak-ledak. Kuatnya aspek intuisi di dalam membaca dunia metafisika melahirkan objek-objek yang unik dan misterius. Sosok objek yang dihadirkan dalam canvas-canvasnya adalah objek penampakan dari dunia metafisika, sehingga tidak lazim disebut sebagai objek biasa yang sudah mengalami proses deformasi. Ada objek bunga matahari, hantu sundel, malaikat, viona, iblis, kupu-kupu, bunga mawar dan masih banyak lagi, semuanya digambarkan sesuai dengan karakter wujud penampakannya. Proses ini terjadi karena Edo sangat mementingkan intuisi dan kemampuan spiritualnya terutama saat merasakan dan melihat sesuatu yang mewujud dalam penampakan. Fenomena seperti ini juga menjadi perhatian para ahli filsafat yang berpendapat dan menandai segala gejala paling kontemporer dalam pandangan hidup manusia modern masa kini yaitu kecenderungannya untuk berbalik kepada logika hati, kecerdasan spiritual, serta kedamaian hati.
Bidang canvas pada lukisan-lukisan Edo selalu dipenuhi oleh objek dengan goresan kuas yang liar dan padat dalam beragam warna. Selanjutnya Edo juga menjelaskan ketika proses kreatifnya sedang berlangsung, kehadiran objek, warna dan gerakan kuasnya cenderung dikontrol oleh bawah sadarnya yaitu kekuatan spiritualnya lebih dominan. Sehingga lukisan-lukisannya tidak hanya menunjukkan keterampilan teknik semata, akan tetapi berhasil melampangkan penglihatan kita pada dimensi pelepasan emosi keindahan estetiknya. Kerja kreatif Edo mampu menciptakan karya seni yang indah dengan karakter objek demikian kuat dan ekspresif, juga imajinasinya yang liar menjadi magnit bagi penikmat seni untuk dapat masuk ke dalam alam imaji spiritual Edo.
Karakteristik sosok Edo dengan karya-karyanya kini telah mengisi ruang kesenian. Bakat alami dan sifat indigonya menciptakan pribadi yang menarik. Kreatifitas yang dimiliki menginformasikan bahwa Edo mempunyai kecerdasan estetik karena kemampuan mengungkapkan pengalaman keindahan ke dalam karya seninya dengan cara yang intuitif, serta keberaniannya menjaga keyakinan atas apa yang dirasakan dan dilihatnya.
Edo meyakini bahwa hidup ini dipenuhi dengan keindahan, melukis adalah sebuah proses menuju kesempurnaan dalam hidup. Karunia yang diberikan-Nya adalah takdir. Takdir yang dijalani adalah indah. Keindahan yang ada di dalam jiwanya adalah niscaya, dan telah memberikan banyak kebahagiaan dalam kehidupannya.
Menjalani kehidupan sebagai manusia indigo dan juga menjadi pelukis sudah dijalaninya. Harapan telah menjadi sebuah keyakinan, suatu sikap yang teguh dengan tujuan yang jelas menghantarkan Edo kepada pencapaian eksistensi diri.
Selamat berjuang, selalu rendah hati dan tengadahkan kepala ke Atas.
Sidoarum, Mei 2016
Alex Luthfi R
Pelukis dan mengajar di FSMR ISI Yogyakarta